BAHAN DASAR MERDEKA YANG MEMULIHKAN KESATUAN

REFLEKSI DARI MURID-MURID YESUS


Yesus memanggil kedua belas murid-Nya dan memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan. Inilah nama kedua belas rasul itu: Pertama Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya, dan Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, Filipus dan Bartolomeus, Tomas dan Matius pemungut cukai, Yakobus anak Alfeus, dan Tadeus, Simon orang Zelot dan Yudas Iskariot yang mengkhianati Dia. Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka: “Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat. (Matius 10:1-7)

Ada sejumlah hal menarik pada bacaan di atas:

  1. Yesus mengutus 12 murid-Nya dari pelbagai latar belakang cara beriman maupun sikap politik mereka. Yohanes dan saudaranya, Yakobus, Andreas, serta Simon Petrus, misalnya, adalah nelayan, kalau di masyarakat Jawa dapat dikatakan “wong cilik” (rakyat biasa). Matius adalah pemungut cukai, dipandang oleh orang Yahudi sebagai antek-antek penjajah Romawi. Bartolomeus (Natanael) adalah seorang penyendiri, kemungkinan mendapat pengaruh kaum Esseni, kaum biarawan yang biasanya memisahkan diri dari keramaian. Tomas dari kalangan kelas menengah, kemungkinan dia adalah orang terpelajar. Sedangkan Simon orang Zelot, dipastikan dari kalangan pemberontak yang biasanya anti terhadap penjajah Romawi. Sedangkan Yudas Iskariot seorang pengelola uang (zaman sekarang mungkin akuntan), yang mengkalkulasi banyak hal berdasarkan uang.
  2. Yesus mengutus para murid-Nya untuk ke kalangan satu bangsa. Itu bukan berarti Yesus tidak menghendaki para murid-Nya untuk pergi ke segala bangsa, karena hal itu juga kemudian diperintahkan-Nya (Mat 28:18). Namun Yesus mengajarkan skala prioritas, dan waktu itu mereka harus menyebarkan kabar baik ke bangsa mereka dahulu sebelum ke bangsa-bangsa lain di dunia. Penahapan itu bisa melihat contoh Presiden Joko Widodo yang awalnya memperbaiki kota, propinsi, lalu negara, baru akhirnya bahkan sampai seluruh dunia, sebagai pemimpin G-20.
  3. Kabar baik yang harus mereka sampaikan berhubungan dengan sistem pemerintahan, yakni Kerajaan. Padahal waktu itu mereka sedang ada dalam sebuah pemerintahan juga yakni Kerajaan (Kekaisaran) Romawi. Uniknya, berbeda dengan kalangan Zelot, misalnya, Yesus tidak memberitakan tentang Kerajaan manusia, juga bukan kerajaan diri-Nya sebagai manusia (seperti harapan tentang kehadiran mesias Israel yang banyak dibayangkan para murid-Nya). Namun justru Kerajaan Allah, Kerajaan yang bukan dari dunia ini. Hal itu kemudian, seperti kotbah di bukit, Nampak dalam hidup yang takut dan mengasihi (Jawa: ajrih asih dhumateng) Allah Bapa.
  4. Perlu diingat, pengutusannya ini berbeda dengan pengutusan setelah Paska dan Kebangkitan-Nya. Saat itu pengutusannya adalah untuk menjadikan bangsanya memberlakukan Allah (Bapa) sungguh-sungguh sebagai raja, jadi tidak berpusat pada manusia Yesus. Manifestasinya ialah pewujudan kuasa dan belas kasihan Allah. Sedangkan pengutusan yang terakhir, yakni yang setelah kebangkitan-Nya, ialah agar semua bangsa menjadi murid Yesus. Manifestasinya ialah hidup menghidupi ajaran dan kehidupan Yesus.

ALLAH PEMBEBAS DARI KETERPECAHAN DAN KETERPURUKAN

Setelah Yesus memilih dua belas murid-Nya, mereka memang berbagi tugas dan mereka melaksanakan mandat untuk membebaskan orang-orang Yahudi dari penindasan setan, dari penyakit, dan dari ketidakberdayaan. Saat itu Yesus tak sedikit pun berbicara tentang pembebasan dari penjajahan Romawi. Para murid pun taat, saat itu mereka melaksanakan mandat pembebasan dari kuasa setan dan dari penyakit serta dari kelemahan. Dapat dikatakan para murid cukup berhasil. Lalu mereka pada saat tertentu berkumpul kembali untuk menerima pempinan dari Tuhan Yesus. Saat itu mereka telah berprestasi, dan mereka berbagi pengalaman dahsyat mereka. Secara ilmu sosial (sosiologis), para murid mengalami yang dinamakan “mobilita vertikal”, suatu kondisi kenaikan status, dari “bukan siapa-siapa” menjadi “orang penting”, sebab mereka menjadi rasul (utusan) Yesus yang memiliki mandat dan kuasa dari Dia.

Sekalipun demikian, kita mencatat bahwa setelah mereka berkumpul mereka kemudian mulai menonjolkan diri sendiri dan berebut menjadi “tangan kanan” Tuhan Yesus (misalnya lihat Matius 20:20-28). Persatuan ternyata penting untuk karya-karya pembebasan, namun persatuan tidak selalu mudah untuk dipertahankan, apalagi jika komunikasi dijalankan berdasarkan kepentingan diri sendiri, bukan berdasarkan kasih serta nilai-nilai Kerajaan Allah lainnya (syalom: keadilan, kebenaran, dan damai sejahtera).

Pembebasan dari kuasa dosa dan ketidakberdayaan itu kembali terwujud saat Pentakosta, ketika para murid Tuhan Yesus bersatu, sehati sepikir, hingga setelah bersatu selama 10 hari sejak kenaikan Tuhan Yesus, kuasa Tuhan kembali dinyatakan, dan jemaat hidup sebagai persekutuan bersama yang saling mempedulikan, bahkan hingga (sempat) tak seorang pun yang kekurangan, sebab tidak (belum) ada yang egois. Hidup mereka adalah Kristus, bukan lagi untuk diri mereka sendiri. Bahkan mereka disukai semua orang. Artinya Kerajaan Allah mereka tampakkan dengan menyatakan karya pembebasan dan “syalom” dari Allah.

Lantas apa pelajaran yang bisa kita ambil untuk kita terapkan dalam kehidupan kebangsaan kita? Kita tentu pernah mengalami kondisi terjajah, dan kondisi terpuruk baik dalam hubungan sosial (kemasyarakatan), ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Pengalaman menunjukkan bahwa upaya memperjuangkan kemerdekaan berdasarkan suku atau agama saja tak berhasil mengusir penjajah. Barulah setelah bangsa Indonesia bersatu, langkah demi langkah untuk memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan dapat kita raih, seperti sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan, perlawanan terhadap agresi sekutu, hingga konperensi meja bundar. Dengan kerjasama rakyat yang berbeda-beda aliran politik, agama, maupun suku, kemerdekaan, keadilan, kebenaran dan perdamaian, barulah kita raih. Dampaknya kita menjadi berdaya, kuat, dan tangguh, tak lagi kamisekengen (merasa lemah). Sekalipun demikian, sepanjang sejarah, kesatuan bangsa kita sering terusik lagi oleh ancaman perpecahan berdasarkan pilihan politik, alasan (aliran) agama, serta ras/suku/budaya.

Belakangan ini seiring dengan berkembangnya media sosial (melalui internet), perpecahan makin marak dengan makian serta pelbagai ujaran kebencian yang dilipatgandakan dengan penyebaran hoaks dan disinformasi. Muncullah stigma-stigma (cap-cap) yang dapat memperkuat prasangka dan sakit hati, seperti istilah kafir, anjing, babi, asing-aseng, dungu, cebong, kampret, kadrun, buzzer RI, buzzer khilafah, dan lain-lain. Seiring dengan itu, ancaman disintegrasi terjadi di Papua, krisis ekonomi sebagai imbas Pandemi, penyebaran hoaks seiring makin memanasnya kondisi sosial politik menjelang 2024, dan lain-lain. Yang tak kalah penting, ada sejumlah pihak di luar bangsa kita yang begitu marah dengan nasionalisme pemerintah kita saat ini, di mana pelbagai mafia (migas, tambang hasil tambang, dll) yang merugikan rakyat dilawan habis-habisan. Mungkin baru di era Presiden Jokowi sekarang, sejak reformasi, bangsa Indonesia mulai disegani oleh dunia. Negara-negara maju yang selama ini “menjajah secara ekonomi” dengan membeli murah hasil tambang mentah, misalnya, seperti kebakaran jenggot dengan keberanian pemerintah menghentikan ekspor bahan mentah. Karena itu sangat mungkin kalangan yang merasa “ladang emasnya” terganggu tak segan membiayai provokator dan demo-demo tertentu, sekalipun menggunakan topeng agama, buruh, atau mahasiswa, demi menjatuhkan pemerintah yang tengah dipakai Tuhan untuk membebaskan dan menyelamatkan bangsa kita.

Sesungguhnya hal-hal itu tidak akan terjadi jika nilai-nilai persatuan (sebagaimana yang diajarkan Tuhan) sudah mendarah daging dalam setiap warga negara, termasuk generasi muda/penerus. Persatuan Indonesia mestinya dihidupi oleh semangat “merah putih”, yakni berani dan suci. Jika kita benar, janganlah takut untuk melawan hoaks, perpecahan, dan ujaran kebencian. Kita harus lebih proaktif dalam menyebarkan cinta kasih dan persaudaraan, sekalipun kita berbeda-beda dalam aliran agama atau pandangan politik.

Persoalannya, ancaman perpecahan itu sudah begitu kuat dan dekat. Dari sejumlah survai dan pengumpulan data, ternyata pikiran radikal bahkan pro khilafah sudah mencakup angka prosentase yang sangat mengkhawatirkan. Jangankan di sekolah agama atau partai politik, di lingkungan perguruan tinggi hingga kepolisian, yang merupakan garda terdepan melawan pandangan radikal, ternyata penganut paham radikal sudah bisa mencapai lebih dari angka 10%. Angka ini cukup besar untuk sewaktu-waktu melakukan kudeta jika mereka merasa memiliki peluang, seperti yang telah terjadi di sejumlah wilayah Timur Tengah. Untuk mengantisipasinya, kita harus menghadapinya secara bersama-sama secara simultan dengan menggandeng pelbagai pihak dan komponen bangsa. Di aras Sinode, misalnya, telah belasan tahun dikembangkan simpul-simpul SOBAT, yakni persaudaran antar umat beragama, terutama di wilayah Jawa Tengah. Beberapa komunitas regional juga berhasil menggalang forum kebersamaan yang digalang kaum muda, misalnya di Gunung Kidul. Secara bersama-sama seluruh gereja, tiap tahun GKJ juga menyiapkan satu bulan sebagai Bulan Kebangsaan untuk kembali menghayati nilai-nilai kebangsaan dan nilai-nilai persatuan. Badan Pelaksana Sinode GKJ juga telah menerbitkan buku kurikulum Pendidikan Politik (untuk diselenggarakan di klasis-klasis), agar kader-kader GKJ di bidang politik lebih siap untuk menjadi garam dan terang demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, damai dan sejahtera. Keterlibatan klasis dan gereja-gereja lokal tentu diwarnai beragam praktik baik yang saling menginspirasi dan memotivasi, seperti sharing dan live in, pendirian Credit Union / koperasi untuk kepentingan bersama, saling menjaga keamanan penyelenggaraan ibadah keagamaan, kerjasama dalam tanggul bencana, kesehatan, Pendidikan, atau seni budaya, dan lain-lain. Kiranya pelbagai tenunan aktivitas itu bisa mendorong gerakan bersama untuk memulihkan persatuan, serta mengatasi ancaman perpecahan dan penindasan dalam bentuk apa pun.

 

Pada akhirnya mari kita mengingat tiga semboyan berikut.
Pertama : Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Kedua : Ubi caritas et amor, ubi caritas Deus ibi est (artinya: Di dalam belas kasih dan cinta Allah itu ada)
Ketiga : Rukun agawe santosa (artinya; Rukun menghasilkan kesejahteraan)

Tuhan beserta kita…..Merdeka!

 


PEMAHAMAN ALKITAB BULAN KEBANGSAAN 2022

ANCAMAN KETERPECAHAN DAN CARA MENYIKAPINYA
(KISAH PARA RASUL 6:1-7)

 Tujuan : Peserta memiliki tekad dan strategi untuk dapat mempertahankan kesatuan di tengah ancaman keterpecahan

 

PENGANTAR

Pernyataan yang berbunyi: “Semakin tinggi pohon, maka semakin kencang angin yang meniupnya”, tentunya merupakan pernyataan yang familiar bagi kita. Dalam kehidupan sehari-hari, pernyataan tersebut sering kali dipakai untuk menggambarkan sebuah kondisi yang akan dialami oleh seseorang atau sekelompok orang ketika mereka berada dalam situasi yang semakin mapan, atau ketika mereka ada berada dalam puncak pencapaian. Sebab, dalam situasi seperti itu biasanya akan samakin banyak rintangan yang dihadapinya, dan/atau akan ada semakin banyak pihak yang berusaha untuk menjatuhkannya. Gambaran akan situasi yang seperti itu pernah juga dialami oleh para murid Yesus di jaman gereja perdana.

 

LATAR BELAKANG KISAH

Jika kita memperhatikan kisah yang ditulis oleh Penginjil Lukas dalam bukunya yang kedua, yaitu Kisah para Rasul, kita akan mendapatkan gambaran bahwa setelah peristiwa turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta, jumlah murid Yesus berkembang sangat pesat. Di awal, ketika Rasul Petrus berkhotbah, jumlah yang memutuskan untuk percaya saat itu ada 3000 orang, setelah itu di Kisah 4:4 disebutkan kalau jumlah mereka bertambah menjadi 5000 orang. Saat itu juga mereka sudah menjadi orang yang berpengaruh dan dikenal luas di kalangan masyarakat Yerusalem. Bahkan pola hidup yang mereka lakukan dalam kehidupan keseharian, menjadi inspirasi banyak orang.

Sekalipun demikian, di saat yang bersamaan ada banyak tantangan yang dihadapi oleh komunitas para murid Yesus. Tantangan dari pihak luar terlihat ketika ada beberapa orang yang sengaja menjatuhkan reputasi mereka. Hal tersebut salah satunya dilakukan oleh para pemimpin agama Yahudi yang merasa iri dengan pertambahan jumlah murid Yesus yang sangat signifikan. Bahkan mereka pun sempat memenjarakan para rasul dan menyidangkan mereka di hadapan Mahkamah Agama (Kisah 5:17-42).

Dari dalam komunitas mereka sendiri, Para Rasul pun diperhadapkan dengan fakta bahwa ada beberapa orang yang berusaha memanipulasi persembahan. Salah satunya dilakukan oleh Ananias dan Safira (Kisah 5:1-11).

Selain itu, tantangan lain yang muncul dari dalam komunitas itu sendiri juga terlihat ketika timbul sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terkait dengan fakta bahwa para rasul terlihat abai dalam melakukan pelayanan meja (atau pelayanan diakonia) bagi para janda di lingkungan mereka. Sungut-sungut itu sendiri tidak dapat dianggap sebelah mata. Sebab, selain menyangkut kebutuhan dasar (yaitu pelayanan meja); dalam sungut-sungut itu sendiri terdapat unsur fanatisme primordial (yang berhubungan dengan suku, ras dan golongan). Di mana jika hal tersebut “digoreng” oleh kelompok-kelompok yang tidak suka dengan komunitas tersebut, maka hal itu dapat dijadikan dasar untuk memecah belah mereka. Apalagi “isu” yang digulirkan itu menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan HAM.

 

SIKAP PARA RASUL DALAM MENYIKAPI ISU KETERPECAHAN

Dalam menyikapi kondisi tersebut, para rasul menghadapinya tidak dengan reaktif, tetapi dengan tenang dan tertata. Hal tersebut terlihat ketika:

  1. Para rasul tetap menunjukkan kerendahan hati.
    Sikap kerendahan hati para rasul itu dapat kita lihat dari sikapnya yang berani mengakui di hadapan semua murid Yesus bahwa kelalaian terkait pelayanan meja bagi para janda di lingkungan orang yahudi yang berbahasa Yunani itu karena mereka belum dapat menata pelayanan dengan baik. Saat itu mereka masih focus dengan pelayanan firman. Sementara itu jumlah jemaat semakin banyak, begitu pun dengan keragaman kebutuhan mereka.
    Sikap keberanian untuk mengakui keterbatasan tersebut dapat kita lihat dari pernyataan para rasul yang demikian, “Kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja” (ayat 2).
  1. Para rasul tetap memprioritaskan pada kesatuan jemaat
    Hal tersebut salah satunya dapat kita lihat ketika para rasul menyelesaikan persoalan itu tidak dengan caranya sendiri, tapi dengan mengajak semua jemaat untuk membicarakan hal tersebut guna mendapatkan solusinya. Hal ini dilakukan oleh Para rasul pertama-tama bukan karena mereka tidak mau dilihat sebagai pihak yang mengetahui semua solusi, atau bahkan sebagai pihak yang otoriter; tetapi lebih karena Para rasul ingin mengajak mereka (yang memiliki beragam latar belakang suku, bahasa dan golongan) dapat menyadari bahwa persoalan tersebut bukan persoalan satu kelompok saja, tetapi persoalan bersama. Dengan harapan melaluinya, jemaat tidak mudah terpecah tapi justru dapat semakin menyatu dan saling peduli.
    Hal tersebut dapat terlihat dari keterangan yang ditulis oleh Penginjil Lukas di ayat 2-a yang berbunyi: “Berhubung dengan itu kedua belas rasul itu memanggiL semua murid berkumpul..”

 

  1. Para rasul berusaha menata pelayanan dengan melibatkan unsur dari jemaat.
    Hal tersebut terlihat bukan saja ketika para rasul memberi ruang kepada jemaat untuk terlibat dalam pelayanan meja; tetapi juga terlihat ketika para rasul tersebut memberi wewenang kepada para jemaat untuk memilih dan memutuskan sendiri orang-orang yang dirasa layak melakukan pelayanan meja. Kalaupun ada point yang ditekankan oleh para rasul dalam proses pemilihan tersebut, maka hal itu terkait dengan syarat bahwa orang-orang itu harus: terkenal baik, penuh Roh dan hikmat. Hal tersebut dilakukan dengan alasan:
  • Selain untuk menampung aspirasi mereka, juga supaya mereka dapat terlibat untuk mensupport pelayanan dari orang-orang yang dipilihnya. Karena biasanya, ketika jemaat dilibatkan untuk memilih dan memutuskan para pelayan khususnya, maka jemaat pun akan dapat mensupport pelayanan yang mereka lakukan.
  • Selain itu, syarat tadi disampaikan demi dapat menunjukkan bahwa bagi para rasul hal yang berhubungan dengan latar belakang suku, bahasa, pengalaman, lamanya menjadi murid Yesus, tidak menjadi soal. Yang penting mereka terkenal baik, penuh Roh dan hikmat.

Dan benar, jika kita memperhatikan 7 orang yang dipilih itu, kita akan mendapati bahwa mayoritas dari mereka adalah orang Yahudi yang berlatar belakang budaya Yunani (hal itu terlihat dari nama-nama mereka); bahkan ada salah satu dari mereka yang memang orang yunani tetapi sudah memutuskan menjadi proselit , yaitu menganut agama yahudi dan disunat (ayat 5).

 

  1. Para rasul mau melakukan sharing power (berbagi kuasa)
    Hal tersebut terlihat ketika para rasul berkenan untuk berdoa dan meletakkan tangan atas mereka. Sikap tersebut selain menunjukkan kalau para rasul berkenan dengan pilihan dari jemaat, juga menunjukkan bahwa para rasul berkenan untuk berbagai kuasa dari Tuhan dalam melaksanakan tugas pemeliharaan iman kepada jemaat.
    Dan benar, setelah “angin” tersebut dapat dilalui, buah yang dihasilkan oleh “pohon” itu semakin banyak. Hal tersebut terlihat dari keterangan yang ditulis oleh Penginjil Lukas di ayat 7, “Firman Allah makin tersebar, dan jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak; juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan percaya”.
    Pertanyaannya sekarang adalah hal apa yang kira-kira menjadikan para rasul dapat menyikapi, menata dan mengelola permasalahan tersebut dengan tenang, bahkan menjadikan tentangan tersebut sebagai peluang untuk melakukan pelayanan yang lebih baik? Bukankah jika kita mengingat sikap mereka selama 3 tahun mengikut Yesus, kita akan mendapati bahwa mayoritas dari mereka terlihat reaktif (ex. Petrus); lebih suka memikirkan kepentingannya sendiri (ex. Yakubus dan Yohanes); tidak mudah percaya dengan orang lain (ex. Thomas); lebih suka melarikan diri dari persoalan, dll?
    Jika kita memperhatikan bacaan saat ini, kita tidak mendapatkan keterangan terkait dengan hal tersebut. Tetapi jika kita mengingat kisah yang ditulis oleh Penginjil Lukas dalam Kitab Kisah para rasul, kita akan mendapati bahwa perubahan sikap dari para murid yang awalnya penuh dengan kerapuhan menjadi penuh dnegan kebijaksanaan, itu selain karena Karunia Roh Kudus yang dicurahkan dalam dari mereka saat Hari Pentakosta; juga karena mereka berusaha untuk belajar menghadapi tiap tantangan yang ada. Mulai dari:
  • Tantangan untuk belajar bersehati dan bersekutu (hal itu mereka lakukan sekitar 10 hari setelah kenaikan Yesus sampai Pentakosta)
  • Tantangan untuk belajar bekerja sama dan mempercayai orang lain di luar komunitas mereka (itu mereka lakukan saat mereka memutuskan mencari pengganti Yudas Iskariot)
  • Tantang untuk menyampaikan kebenaran saat mereka diterpa isu bahwa kemampuan mereka berbahasa asing itu karena mereka mabok oleh anggur manis
  • Tantangan untuk mengajak jemaat mula-mula mengejawantahkan firman Tuhan dengan pola hidup yang didasarkan pada kasih dan kepedulian
  • Tantangan untuk menghadapi intrik politik dan agama dari pihak di luar mereka
  • Dll.

 

APLIKASI DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DI BUMI INDONESIA

Sebagaimana komunitas murid Yesus di abad pertama yang dalam pertumbuhannya sering berhadapan dengan tantangan, hal yang sama juga terjadi dengan kehidupan bangsa Indonesia.

Sejarah menunjukkan bahwa setelah Tuhan merahmati kita dengan kemampuan untuk mengusir penjajah, sehngga kita diberi karunia untuk merdeka di tahun 1945, hal itu tidak serta-mereta menjadikan bangsa Indonesia terbebas dari tantangan. Berbagai cobaan justru datang silih berganti. Diantaranya:

– Adanya kecenderungan dari beberapa daerah yang berusaha untuk melepaskan diri dari NKRI karena merasa memiliki tapak sejarah yang berbeda; dan/atau merasa diperlakukan tidak adil.

– Adanya konflik dan intrik politik yang dilakukan oleh para elit demi dapat mengupayakan kekuasaan dan memperjuangkan kepentingannya sendiri.

– Adanya para penguasa yang korup

– Adanya bahaya radikalisme dalam beragama

– Adanya ketidakadilan dan banyaknya kekerasan yang dilakukan terhadap kaum rentan (para perempuan, anak, kaum disabilitas, dan suku-suku terasing)

– Seringnya terjadi bencana alam karena posisi Negara kita di daerah “cincin api”

– Adanya pandemi covid 19 yang menghancurkan banyak aspek kehidupan

– Dll

 

PERTANYAAN UNTUK PENDALAMAN

  1. Dari sekian banyak tantangan dan ancama yang dihadapi bangsa Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini, ancaman seperti apakah yang menurut saudara paling membahayakan kesatuan dan percatuan bangsa?
  2. Strategi seperti apakah yang menurut saudara seharusnya dapat diambil pemerintah (Pusat maupun daerah) demi menyikapi ancaman disintegrasi bangsa.
  3. Sumbangsih apa sajakah yang dapat diberikan oleh gereja dalam mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa?

 


PD BULAN KEBANGSAAN 2022

 

PUJIAN PEMBUKAAN

TERANG MATAHARI (KJ 322:1,3,5)

Terang matahari telah menyinari segala neg’ri
Dan gunung dan padang dan sawah dan ladang senang berseri

Syukur bagi Dia, Gembala setia yang jaga tetap
Anug’rah-Nya juga hariku semua terang dan gelap

Sehari-harian besar pemberian kemurahan-Mu
Ya Tuhan, kiranya kuingat s’lamanya kewajibanku

DOA PEMBUKAAN

PUJIAN PERSIAPAN FIRMAN

YESUS LIHAT UMAT-MU (KJ 57:1&2)

Yesus lihat umat-Mu yang mendamba Kau berfirman
Dan arahkan pada-Mu hati dan seluruh ind’ra
Hingga kami yang di dunia Kau dekatkan pada sorga

 

Tanpa cah’ya Roh Kudus kami dalam kegelapan
Biar oleh sabda-Mu akal budi Kau cerahkan
Hingga Tuhan kuasai karya dan ucapan kami

 

MEMBACA FIRMAN TUHAN (MARKUS 5:21-43)

RENUNGAN

MERDEKA ATAU MATI

(MARKUS 5:21-43)

Saudara yang dikasihi Tuhan,

Sebagai warga Indonesia tentunya semua dari saudara tidak lagi asing dengan semboyan yang berbunyi: MERDEKA ATAU MATI, sebab pada jamannya semboyan yang awalnya disampaikan oleh Bung Tomo sebelum peristiwa 10 November 1945 tersebut telah menggelorakan semangat para pejuang (terutama arek-arek Suroboyo) untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru seumur jagung diproklamirkan.

Semboyan merdeka atau mati itu sendiri dilatar-belakangi ultimatum dari tentara Inggris yang memaksa tentara Indonesia agar di masa gencatan senjata di antara mereka (antara tentara Inggris dan bKR – Badan keamanan Rakyat), dapat menyerahkan senjata-senjata hasil rampasannya dari tentara Jepang kepada mereka dengan cara berbaris dan meletakkan tangan di atas kepala, tanda kalau mereka menyerah. Sekaligus mengentikan perlawanan kepada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Dalam situasi tersebut, maka Bung Tomo pun membakar semangat rakyat Surabaya melalui pidato yang disiarkannya lewat radio-radio. Salah satu isi pidatonya demikian:

“Hai tentara Inggris, kau menghendaki bahwa kita akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu. Kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada. Tetapi inilah jawaban kita: selama banteng-banteng Indonesia mempunyai darah mereh yang dapat membikin secarik kain putih, menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun. Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting. Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Lebih baik kita hancur lebur dari pada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: Merdeka atau mati.”

 Dan benar, esok harinya, saat tentara Belanda (yang membonceng Inggris atau sekutu) mengibarkan benderanya di Hotel Yamato, arek-arek Suroboyo pun tidak tinggal diam. Mereka pun bertempur habis-habisan. Akhirnya warna biru pada bendera Belanda dapat dirobek, sehingga tinggal warna merah-putih yang berkibar. Betapapun untuk itu terdapat 6.000 pejuang bangsa telah gugur, dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari kota mereka.

Saudara,

Kisah pertempuran 10 November dan juga penggalan pidato dari Bung Tomo tersebut diceritakan di sini bukan pertama-tama untuk mengajak kita mengenang latar belakang dijadikannya tanggal 10 November sebagai hari pahlawan; tetapi lebih untuk mengingatkan kepada kita bahwa semangat pantang menyerah merupakan semangat yang ada dalam darah daging Bangsa kita. Ketika semangat pantang menyerah itu tetap diperlihatkan dan digelorakan, maka betapapun kita ada dalam situasi yang seolah berat dan tanpa pengharapan, faktanya kita dapat dimampukan untuk melaluinya bahkan mendapatkan hal yang lebih baik dari yang kita bayangkan.

Hal yang seperti itu juga yang dapat kita lihat ada dalam diri 2 tokoh utama dari bacaan saat ini, yaitu Yairus dan Perempuan yang mengalami pendarahan selama 12 tahun. Siapa mereka:

 

  1. YAIRUS
    Dalam bacaan disebutkan kalau dia merupakan pemimpin rumah ibadah. Itu artinya secara kedudukan agama, politis dan social, dia cukup terpandang. Bersamaan dengan itu dia juga dapat dikategorikan sebagai orang yang terpelajar dan logis. Tetapi ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa anaknya sudah mati (hal itu terlihat dari pernyataan orang-orang dari keluarga Yairus yang datang menemui Yairus dengan berkata: “Anakmu sudah mati, apa perlunya engkau menyusah-nyusahkan Guru), Yairus terlihat tidak mau “menyerah” dengan situasi itu. Buktinya di datang menemui Yesus, tersungkur di depan kaki-Nya, dan memohon dengan sangat kepada Yesus demikian: “Anakku perempuan sedang sakit dan hampir mati, datanglah kiranya dan letakkan tangan-Mu atasnya, supaya ia selamat dan tetap hidup”.Ketika Yairus melakukan itu terlihat kalau dia tidak peduli dengan konsekuensi yang akan dia hadapi. Misalnya: dipermalukan karena mau merendahkan diriya di hadapan Yesus, dan/atau dianggap sebagai orang yang tidak logis dan tidak mau menerima fakta bahwa anaknya sudah meninggal. Baginya: selama ada kesempatan untuk “berjuang”, dia akan melakukannya.

 

  1. PEREMPUAN YANG SAKIT PENDARAHAN 12 TAHUN
    Dalam bacaan kita tidak disebutkan namanya. Hal itu bisa saja terjadi karena keberadaan perempuan bagi masyarakat Yahudi memang dianggap tidak penting. Apalagi di saat yang bersamaan, dia juga mengalami sakit pendarahan (sebuah sakit yang mengharuskan dirinya di ekskomunikasi, karena sakitnya dianggap sebagai sesuatu yang membawa kenajisan bagi dirinya dan bagi orang lain yang bersentuhan dengan dirinya). Saat itu dia sebenarnya sudah ada dalam situasi yang tanpa pengharapan. Sebab, sebab usaha dia untuk mendapatkan kesembuhan selama 12 tahun sakit tidak membuahkan hasil, bersamaan dengan itu segala hal yang dimilikinya juga sudah habis. Sekalipun demikian, hal itu juga tidak menjadikannya “mengangkat bendera putih” tanda menyerah pada nasib. Baginya, selama masih ada kesempatan untuk berjuang, dia pun akan melakukannya. Dan benar, ketika Yesus lewat, dia tidak pertama-tama memanggil Yesus dan meminta belas kasihan kepada-Nya, tetapi dia memutuskan untuk menjamah jumbai jubbah-Nya. Hal itu dilakukan selain karena dia percaya bahwa hanya dengan menjamah jumbai jubahnya saja dia akan sembuh; juga karena dia berusaha tidak menginterupsi Yesus yang saat itu sedang dalam perjalanan untuk melakukan karya pemulihan bagi anak Yairus. Tentu saja, sikapnya yang demikian memiliki konsekuensi yang besar. Karena kalau orang tahu dia ada di tengah-tengah mereka, maka bisa jadi dia akan semakin dieksomunikasikan. Tetapi dia tidak memperdulikan hal tersebut.Dan benar, ketika kedua tokoh tersebut tidak menyerah dengan kondisi dirinya, betapapun untuk itu mereka harus siap dengan segala konsekuensi yang dihadapinya, yang mereka dapatkan justru jauh lebih indah dari yang dibayangkan.

 

  • YAIRUS: Awalnya dia hanya berharap untuk melihat anaknya selamat dan tetap hidup (artinya apapun kondisi fisiknya, entahkan masih harus terbaring di tempat tidur, dia tidak masalah, yang penting tetap hidup). Tapi ternyata dia mendapatkan hal yang lebih dari itu. Anaknya bisa bangun, bangkit, berjalan dan makan. Sampai semua orang takjub.
  • PEREMPUAN: dia bukan saja merasakan pulih dari sakitnya, tapi juga dari perasaan rendah diri, dan perasaan tidak berguna karena distigma selama 12 tahun sebagai orang yang najis dan membawa kenajisan bagi yang lain.

Kedua tokoh tersebut diakui atau tidak merupakan tokoh yang memiliki banyak perbedaan latar belakang baik secara politis maupun social. Sekalipun demikian Penginjil Markus menyatukan kisah mereka dalam perikop yang sama. Hal tersebut tentu bukan saja karena kisah itu terjadi di saat yang bersamaan; tetapi juga sebagai gambaran bahwa semangat untuk tetap berjuang demi bisa hidup, demi bisa pulih, itu ada dalam tiap nadi kehidupan manusia, siapapun mereka. Dan ketika semangat tersebut dapat disinergikan, bukan tidak mungkin akan ada banyak pemulihan.

 

Saudara,

Situasi kita saat ini tentu sangat berbeda dengan situasi 77 tahun lalu saat para pejuang bangsa mempertahankan kemerdekaan dengan pekik “merdeka atau mati”. Sekalipun demikian, hal yang berhubungan dengan perjuangan untuk tetap hidup, untuk tetap pulih, untuk tetap tumbuh itu merupakan perjuangan yang berlaku seumur hidup. Terlebih saat ini, kita baru saja melewati situasi pandemi covid 19 yang memporak porandakan segala segi kehidupan. Ada banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan kita sendiri untuk mengatasinya. Tetapi seringkali hal tersebut kurang disinergikan. Padahal jika semua golongan (pemerintah dan rakyat) yang sama-sama memilik semangat untuk pilih itu dapat bersinergi, maka pemulihan itu bukan tidak mungkin dapat terjadi. Bahkan melaluinya keindahan hidup sebagai bangsa yang berbeda tetapi tetap satu semakin dapat dirasakan.

Amin.

 

DOA SYAFAAT & PENUTUP

 PUJIAN PENUTUP

HAI JANGAN SENDIRIAN (KJ 352:1&3)

Hai jangan sendirian jalanmu kau tempuh
Bebanmu jadi ringan bersama Tuhanmu
Jikalau kau bersusah dan berkeluh kesah
Hai pikullah semua bersama-Nya
Hai pikullah semua bersama-Nya

 

Hai marilah semua yang susah dan penat
Ikuti Yesus jua beban-Nya tak berat
Derita yang kau tanggung berakhir segera
Serahkan keluhanmu di tangan-Nya
Serahkan keluhanmu di tangannya